Jumat, 25 November 2011
Cinta yang Sempurna..
Disleksia, itulah diagnosa dokter untuk penyakit yang ku derita. Akibat dari penyakit ini aku menjadi kesulitan membaca atau mengenali huruf. Mungkin aku bisa ikut serta dalam obrolan santai, namun kekurangan ini membuatku merasa inferior dibanding orang lain disekitarku. Aku takut melihat buku ataupun surat kabar. Kekuranganku pula yang membuatku susah untuk bersosialisasi seperti halnya para pemuda di lingkunganku. Namun itu masa lalu, sebelum aku bertemu dengan tetangga baruku.
Namanya venus, dia anak perempuan dari tetangga baruku. Venus sangat cantik, sejak bertemu dengannya aku telah menaruh hati padanya. Sesuai namanya, ia memang secantik bintang pagi yang menyinari transisi sikardian. Wajahnya yang merona, senyumnya yang merekah, dan suara lembutnya yang kudengar samar-samar dari balik tembok rumahku. Seandainya saja aku bisa mengenali kata, ingin ku tulis setiap hela napasku dalam barisan puisi tentang dirinya. Tapi apalah dayaku..
Hari berlalu, dari balik jendela aku hanya bisa memandang dirinya yang sedang tertawa dengan orang tuanya, dia yang sedang bermain piano, dia yang sedang melamun di sudut kamar.
Kuberanikan diriku menulis puisi untuknya, walau ku tahu keputusanku ini dapat membuatku malu.
Ketika ia sedang melamun di sudut kamarnya, aku datang menghampirinya dari jendela dan memanggilnya. Ia berbalik kepadaku, perlahan berjalan mendekat, sungguh manis, Tuhan pasti sangat bahagia ketika melukis wajahnya. Namun ketika semakin dekat dirinya berkata,” siapa kamu??” nada ketakutan keluar dari pita suaranya, sedangkan aku hanya terpaku melihat sang bintang pagiku selama ini hidup dalam kegelapan, yaa.. Ia buta.
***
Detik, detik, detik pun tak tertahan namun inci yang dulu menyekat mulai merapat. Hubungan kami semakin dekat. Venus wanita yang hebat mungkin ia tidak perlu mata untuk mengetahui seluruh isi dunia ini, ia mahir membaca huruf-huruf Braile, ia mampu mengoperasikan komputer. Ia melihat dengan mata batinnya. Sedangkan aku hidup dengan kedua mataku, namun aku memandang sempit diriku. Hidup dalam jiwa inferiorku, selalu takut untuk terlihat bodoh atau berbeda. Venus mengajarkan banyak hal padaku. Kau tak perlu membaca untuk mengetahui, tapi kau bisa mendengar. Kau tak perlu melihat untuk percaya, tapi kau bisa merasakan.
“Willy, katakan apa yang kau lihat.” kata Venus, ketika kami duduk di bangku taman di saat senja.
“Matahari berada di depan kita. Sekarang ia terlihat mulai tenggelam.”
“Wily, kau tahu apa yang kulihat. Dari hangatnya sinar matahari aku tahu ia telah berubah warna menjadi jingga, dan saat ini ia tepat berada di hadapan kita. Pasti langitpun berwarna lembayung lembut sehingga rombongan burung-burung yang hendak pulang ke sangkarnya terdengar bernyanyi lebih merdu dari sekitarnya. Rasakan tiupan angin wily, hmm..ingin rasanya ikut menari bersama pepohonan yang tertiup angin.” Venus berhenti mendeskripsikan senja dalam mata hatinya. Lalu ia bangkit dari duduknya lalu berbaring di atas rerumputan hijau yang terbentang luas di hadapan kami.
“Venus?”
“Turunlah, rasakan hangatnya rumpu hijau yang disinari matahari. Wily, lihatlah jauh lebih luas dari yang orang lain lihat. Jangan gunakan fisikmu tapi gunakan jiwamu.“
Aku terdiam. Seorang gadis buta mengajariku bagaimana melihat dunia ini.
Untuk beberapa menit kami hanya terdiam, menikmati hangatnya suasana saat itu.
“Venus, aku mencintaimu.” Bisikku di telinganya.
“Kenapa harus aku?” Tanya Venus. Ia masih terlihat senyum menikmati senja.
“Jika yang kau tanya adalah sebuah alas an, aku tak memilikinya.”
“Tapi aku buta.”
“Hatiku bilang cinta tidak mencari sosok yang sempurna, karena tidak ada manusia yang sempurna. Yang dicari hanya dua sosok yang saling menerima dan mencintai untuk menjaga cinta yang sempurna.” Jawabku.
Ketika kau menginginkan sosok yang sempurna untuk kau cintai, kau tak akan pernah mendapatkannya. Tapi dua sosok yang tidak sempurna, yang saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang saling melengkapi dalam segala hal, tanpa pernah letih untuk memohon maaf dan memaafkan, dari merekalah dapat lahir cinta yang sempurna. Itu yang lebih penting, mencari cinta yang sempurna bukan mencari sosok yang sempurna.
Venus tersenyum.
“Aku pun merasakan cinta bersama dirimu” Hela napasku bercampur lega dan bahagia mendengar jawabannya.
Lagi-lagi kami hanyut dalam keheningan.
“Venus, sepertinya kita akan sangat saling melengkapi. Paling tidak aku tidak perlu menulis puisi untukmu.” Candaku.
Kali ini kami tenggelam dalam tawa..
...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
hai, nice story :)
BalasHapusmampir balik di blogku ya :)