Sabtu, 29 September 2012

Sindrom Horner

Sindrom Horner (Horner's Syndrome) adalah kumpulan gejala yang disebabkan kerusakan pada sistem saraf simpatis. Pertama  kali ditemukan oleh Johan Friedrich Horner, seorang oftalmologi berkebangsaan Swiss (1883-1886). Dia menemukan kelainan dari gejala klinis orang yang terinfeksi Lues (sifilis). 

Gejala klinis Sindrom Horner terdiri atas:
  • Ptosis 
  • Miosis pupil
  • Enoftalmus
  • Anhidrosis
Kumpulan gejala ini terjadi secara ipsilateral.

Sindrom Horner bukan merupakan penyakit, tetapi kumpulan gejala akibat penyakit primer sebagai penyebab utamanya. Contohnya tumor pancoast atau tumor mediastinum, stroke, carotid artery dissection, cedera saat lahir, ataupun berbagai jenis obat-obatan

Secara anatomi jaras saraf simpatis terbagi 3 tingkatan.
  • Neuron 1 atau preganglioner. Neuron ini berasal dari posterior hipotalamus kemudian turun tanpa menyilang dan bersinaps secara multiple di otak tengah dan pons, danberakhir di kolumna intermediolateral C8-T2 yang juga disebut ciliospinal centre of badge
  • Neuron kedua berupa serabut-serabut preganglioner yang keluar dari medula spinalis. Sebagian besar jaras pupilomotor mengikuti radiks ventral torakal 1, sedangkan serabut sudomotor wajah terutama mengikuti radiks ventra T2-4. Jaras tersebut memasuki rantai simpatetik servikal (ganglion stelata) untuk kemudian bersinaps di ganglion servikal superior yang terletak dekat dasar tengkorak
  • Neuron ketiga merupakan serabut post ganglioner yang berjalan ke atas bersama-sama A karotis komunis memasuki rongga kranium. Serabut untuk vasomotor orbita, kelenjar likrimal, pupil dan otot Mulleri mengikuti A karotis interna, sedangkan serabut sudomotor dan piloereksi wajah mengikuti A.karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pada sinus kavernosus jaras pupilomotor tersebut meninggalkan A.karotis interna dan bergabung dengan jaras ophthalmik N.trigeminal dan memasuki orbita melalui fissura orbitalis superior. Kadang-kadang berjalan bersama N.VI dahulu sebelum bergabung dengan N.Trigeminal dan kemudian mencapai badan siliaris yang mengakibatkan dilatasi iris melalui N.nasosiliaris dan N.siliaris longus. Sedangkan serabut vasomotor orbita, M.mulleri dankelenjar lakrimalis mengikuti A.oftalmika. Morissa dan kawan-kawan (1984) mengemukakan bahwa keringat wajah sesisi tidak seluruhnya diurus oleh serabut yang mengikuti A.karotis eksterna tetapi sebagian wajah yaitu bagian medial dahi dan hidung diurus oleh serabut yang mengikuti A.karotis interna.
Dari gambaran anatomi di atas kita memahami bagaimana gejala-gejala pada Sindrom Horner itu terjadi.
  • Ptosis; merupakan gejala yang paling gampang terlihat. Ptosis diartikan ketidakmampuan untuk mengangkat kelopak mata. Hal ini disebabkan oleh kelumpuhan M. Mulleri (Superior Tarsal Muscle) yang dipersarafi oleh saraf simpatis.
  • Miosis; adalah konstriksi pupil. Hal ini terjadi akibat gangguan pada sistem jaras simpatis mengakibatkan kelumpuhan M. Dillatator Pupillae sehingga ketidakmampuan pupil untuk berdilatasi.
  • Enoftalmus; keadaan ptosis yang membuat kelopak mata jatuh menyebabkan mata terkesan mata lebih masuk kedalam.
  • Anhidrosis; sebagaimana dijelaskan di atas bahwa neuron simpatis juga berfungsi dalam mempersarafi kelenjar keringat, sehingga gangguan saraf simpatis mengakibatkan tidak keluarnya keringat pada daerah wajah. Jika lesi berada di neuron preganglion maka anhidrosis akan terjadi pada tubuh ipsilateral, namun bila lesi pada neuron postganglion maka anhidrosis terbatas pada daerah dahi saja.
Letak lesi penyebab sindroma Horner perlu ditentukan, sebab lesi distal terhadap gangion servikal superior biasanya 98% jinak, sedangkan lesi proksimal terhadapnya 50% ganas. Pada arak yang sering terjadi adalah
congenital horner’s syndrome yang sering disebabkan karena trauma lahir, atau adanya nerutoblastoma yang tumbuh pada jaras simpatetik. Pada lesi yang kongenital dapat terjadi dengan heterochromia iris.

 Lesi disetiap neuron jaras simpatis mungkin secara klinis susah dibedakan karena akan menunjukkan gejala yang sama, namun dengan pemeriksaan yang lebih teliti dan pemeriksaan penunjang kita akan dapat membedakan pada tingkatan neuron mana yang terjadi gangguan.

Untuk mendiagnosa dan membedakan letak lesi maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang.
  • Dengan topikal cocaine 4-10%, pada mata normal terjadi dilatasi sedangkan pada Sindrom Horner dilatasi sangat berkurang. Cocaine mebiokir reuptake norepineparine yang dilepaskan oleh neuron simpatik ketiga. Lesi jaras simpatik menyebabkan berkurangnya epinephrine yang dilepaskan oleh neuron sehingga pupil sisi tersebut tidak akan berdilatasi
  •  Paredrin 1% (Hidoksi amfetamin ) untuk menentukan loaksi lesi. Efek paredrine melepaskan nor-epinephrine dari terminal pre-sinaptik. Pada lesi post ganglioner, saraf terminal mengalami degenerasi sehingga terjadi gangguan dilatasi papil pada pemberian paredrin, sedangkan pada lesi preganglion, jaras post ganglion masih intak sehingga paredrin mengakibatkan dilatasi pupil.



Tidak ada terapi spesifik pada Sindrom Horner, gejala-gejala tersebut akan hilang jika penyakit penyebabnya telah teratasi.