Jumat, 23 April 2010

^^ (5)



( Kesempatan pertamaku kubuang sia-sia. Aku terlalu cepat, hingga akhirnya angka lima di dadu itu tak kudapat. Namun tak ada kata menyerah dalam kamusku, apalagi untuk mendapatkan apa yang telah menggebu di hati. Kuresapi tiap kesalahan yang tak harus terulang lagi, kubagi pengalaman yang mungkin bisa bermanfaat, dan tingkah-tingkah aneh yang semakin mendekatkan aku dengan harapan. Lalu, mata dadu lima pun kudapat!! )


Aku terpaku sesaat..tangan kanan yang memegang HP pun terasa bergetar. Jantungku mendadak berdenyut lebih kencang. Bukan karena getaran HP atau radiasi ataupun hal lain tentang HP, tapi sebuah suara yang ku dengar dari HP itu menyapaku mesra, dengan kata yang sebelumnya tak pernah terucapkannya untukku..

Hari itu (entah kapan..) aku seperti mencapai sebuah tahap baru dalam kehidupanku. Aku seperti mendapatkan apa yang sempat terpikir akan menjadi sia-sia. Semua canda, semua cerita, semua perjalanan, semuanya seperti mencapai sebuah titik kulminasi dalam hubungan ini. Aku bagai pendaki gunung yang mendapat pesan surga bahwa aku telah mencapai puncak. Puncak yang dulunya seolah semu telah berhasil ku taklukkan.

Tapi ini hanya satu dari puncak-puncak lain yang ingin kutaklukkan, ini hanya sebuah titik kulminasi dari sebuah episode, dan episode baru dengan tantangan baru telah terbentang di hadapanku, bukan! Bukan hanya di hadapanku melainkan di hadapan kami!!

Akhirnya dua dimensi itu menyatu. Kami yang ingin mendaki gunung kehidupan telah mencapai lereng di kaki gunung dan jalan kami bertemu di sebuah tempat dimana kami diharuskan menyebrangi sungai untuk mendaki lebih tinggi gunung tersebut. Tanpa ragu tangan lembut itu ku genggam, dan kurasakan tangan itu menyambut erat genggamanku. Kini kami melangkah menyebrangi sungai kehidupan dengan arus yang deras, bebatuan yang licin, serta bambu-bambu tajam terbawa arus yang kapan saja bisa memisahkan genggaman tangan kami. Kami berusaha menaklukkan sungai itu. Masing-masing kami pernah gagal melewati sungai itu, tapi bayangan gagal itu telah hilang. Kami melangkah dengan semangat baru dan rasa saling percaya. Dan aku tak ingin sedikitpun melonggarkan genggaman itu, karena aku ingin mencapai tepi sebrang sungai berdua dengannya.

Dan nanti, entah kapanpun itu. Akan ku pastikan hanya dirimu temanku untuk mendaki bukit kehidupan itu. Berdua. Saling bergenggaman tangan. Saling melengkapi. Saling menyayangi. Hingga kita mencapai puncak dan menjadi pemenang dalam kehidupan ini.

kehidupan dalam angkot

Di sebuah hari yang menyesakkan, saat matahari merekah benar di angkasa. Aku seorang mahasiswa yang baru saja menghabiskan setengah hariku di kampus, harus bermandikan keringat di sebuah halte sambil menunggu jemputan angkutan umum. Tubuh ku yang penat terasa ingin rubuh, tidak hanya karena otak yang telah penuh sesak dengan tugas kuliah dan radiasi panas yang menampar tepar tubuhku, tapi juga lambung ini yang masih kosong belum terisi.

Angkot yang ku tunggu pun tiba. Tempat duduk samping supir telah terisi oleh seorang ibu yang terlihat telah akrab dengan sang pengemudi. Dan di tempat duduk penumpang hanya baru terisi oleh dua orang paruh baya yang sepertinya tidak saling mengenal. Mereka duduk di bagian depan dekat pintu masuk di kursi panjang. Aku memilih menyendiri di sudut belakang kursi pendek. Sehingga dapat ku rebahkan tubuh penat ini selama setangah jam perjalanan kedepan.

Tak jauh dari halte tempat ku menunggu, angkot kembali berhenti di depan seseorang. Seorang wanita seumuranku berpakaian putih hitam bergegas naik dan duduk tepat disamping pintu. Dia terus memeluk sebuah map yang tak ku ketahui apa isinya, tapi dari caranya dia menjaga map itu, aku yakin itu berisi kertas-kertas yang cukup berharga baginya. Sesekali ia melihat jam tangannya, seolah tak percaya sang waktu berjalan begitu cepat dan matanya terus menatap cemas ke depan, seakan ingin meminta pak supir untuk mengemudi lebih cepat lagi. Melihatnya aku yakin ia sedang mengejar waktu, ia terlambat untuk menepati sebuah janji pada hari ini, janji yang mungkin sangat begitu penting baginya.

Angkot kembali berhenti menuruti seorang penumpang yang hendak turun. Lalu secara kebetulan ada tiga orang remaja dengan pakaian cukup modis ikut serta dalam perjalanan kami. Dan si wanita yang sedang mengejar waktu seolah tak mampu menahan emosinya melihat tiga remaja itu yang begitu lama naik ke dalam angkot, dan mereka duduk di bangku panjang di depan aku dan wanita yang mengejar waktu.

Mataku yang mulai redup seakan tak ingin melepaskan sebuah lakon kehidupan di dalam angkot yang cukup menarik ini. Dan aku dapat tempat duduk istimewa di sudut angkot.

Beberapa menit kemudian angkot ini kembali berhenti, kali ini di sebuah pusat perbelanjaan atau bahasa moderennya Mall. Tiga remaja dengan kostum yang menurut mereka sudah sangat modis buat tampil pamer di dalam mall sambil melirik-lirik lawan jenis seolah memberi kode bahwa mereka lagi jomblo, mereka pun turun dengan seorang penumpang lainnya. Angkot berhenti cukup lama di depan mall ini, menunggu pengunjung mall yang mungkin hendak pulang. Sementara si wanita yang sedang mengejar waktu semakin gencar melihat jam tangannya, kali ini ia mulai merogoh tasnya, lalu sebuah hape digenggam, ia mulai memencet tombol-tombol yang ada. Mungkin ia ingin menyampaikan pesan keterlambatannya. Empat siswi berseragam SMA lengkap naik di susul dua orang penumpang lainnya, seorang lelaki dan seorang wanita, sepertinya mereka adalah sepasang kekasih, itu terlihat dari mereka yang saling berpegangan tangan.

Sejenak kulepaskan mataku dari wanita yang sedang mengejar waktu. Kualihkan ke empat siswi SMA. Dua orang duduk di antara aku dan si wanita yang sedang mengejar waktu, sedangkan dua lainnya di depan mereka di bangku panjang. Saat ini angkot ini pun terlihat sangat penuh, hanya tersisa dua tempat lagi untuk penumpang. Empat gadis yang baru beranjak gede ini pun dengan serunya mulai membahas apa yang terjadi di dalam mall tadi. Seorang berkata,” iya, cowo tadi..wuiiih,ganteng banget!!terus dia ngeliatin aku kan..?”disambut sorakan teman-temannya. Dari cerita mereka sepertinya mereka membolos dari sekolahnya hari ini hanya untuk sekedar menghabiskan waktu dengan nongkrong di pelataran-pelataran mall sambil berusaha mengomentari dan menyeleksi setiap cowok yang lewat di depan mereka. Hmm..aku tersenyum melihat aksi dan cerita para ABG ini. Suasana yang tadinya hening mendadak ramai, namun penumpang lain seolah sibuk dengan dirinya sendiri dan tak peduli dengan kebisingan ini. Oopss..seorang diantara mereka mulai curiga denganku yang keasyikkan memperhatikan mereka.

Mataku yang tadinya mengantuk mulai segar kembali memperhatikan para penumpang lainnya. Si wanita yang sedang mengejar waktu masih saja harap-harap cemas dengan jalannya angkot yang mulai terkena macet. Baju putihnya pun terlihat mulai di banjiri cucuran keringat. Tapi ia masih terlihat cukup sabar sambil sesekali melihat jam tangannya.

Di sudut depan bangku panjang, terlihat sepasang sejoli yang juga tak kalah serunya membahas cerita mereka. Sepertinya mereka baru menghabiskan waktu menonton berdua. Bukannya aku ngasal nebak, tapi tadi aku sempat melihat si cewe mengambil sebuah kertas dari dompetnya lalu merobeknya menjadi dua dan memberi selembar untuk si cowo dan selembar di simpan lagi dalam dompetnya. Dan kertas itu setahuku adalah tiket nonton bioskop. Pasangan itu terlihat sangat mesra. Si cowo tak sedikitpun melonggarkan genggaman tangannya di tangan si cewe, si cewenya pun terlihat sangat nyaman dengan keadaan itu sambil bersandar pada lengan si cowo. Sesekali si cowo membisikkan sesuatu ke telinga si cewe, mendengar bisikan itu si cewe jadi malu dan mencubit lembut pipi si cowo. Hohoho..angkot terasa milik berdua dan yang lain numpang.

“minggir pak!” terdengar suara dari si wanita yang sedang mengejar waktu. Angkot segera berhenti lalu ia membayar ongkosnya. Terlihat si supir hendak memberi kembalian ongkos si wanita tapi sang empunya kembalian telah lari menuju sebuah gedung tinggi pencakar langit. Kini aku bisa menebak, si wanita itu telah membuat janji wawancara kerja.

Saat angkot kami akan melaju, tiba-tiba seorang pria berjas datang dari arah gedung tinggi tadi sambil berteriak dan melambaikan tangannya, seolah hendak meminta sang supir untuk sedikit saja sabar menunggunya. Seorang pria yang kuyakini adalah seorang eksekutif muda sukses naik bergabung dalam perjalanan angkot kami. Dari stelan yang digunakannya, sebenarnya ia tak cukup layak, bukan maksudku terlalu hebat hanya untuk seseorang berjas yang kerja di perusahaan besar untuk naik angkot. Dia merogoroh kantong jasnya, sebuah hape canggih keluaran terbaru dalam kepalannya. Dia menelpon seseorang. Dari pembicaraan ini aku baru tahu alasannya bergabung dengan kami adalah karena mobil miliknya mogok parkiran gedung, sehingga dia memilih untuk menuju tempat rapatnya dengan angkot. Dari sikapnya dia terlihat tak lagi canggung untuk naik angkot. Sesekali dia mekirik keseluruh isi angkot sambil tersenyum, aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Menurutku dia sedang mengenang masa kuliahnya dulu, mungkin sebelum dia sesukses sekarang, dia juga salah seorang penumpang angkot ini. Dia sama seperti aku yang setiap pagi berlari mengejar angkot, dan setiap siang duduk kepanasan menunggu sang angkot datang menjemput. Dia sama seperti wanita yang sedang mengejar waktu tadi, berharap cemas pada angkutan umum milik pribadi berjalan lebih cepat, mungkin dia juga mengejar waktu dulunya untuk menepati janji wawancara kerja di perusahaan besar tempat ia bekerja sekarang.

Di sebuah halte, angkot kembali berhenti. Kali ini seorang kakek tua naik sambil menenteng barang bawaan di kedua tangannya. Ia terlihat begitu lelah. Si kakek seolah ingin duduk di dekat pintu, tapi tak seorangpun dari pasangan sejoli ataupun para anak SMA yang memberinya sedikit tempat untuk duduk. Ia terpaksa berjalan tunduk dan dengan susah payah masuk lebih dalam untuk mendapatkan tempat yang tersisa di samping eksmud yang sengaja pindah duduk ke sudut sehingga si kakek tak perlu terhimpit. Si kakek terlihat lega seketika ia berhasil mendapatkan tempat untuknya. Melihat si kakek aku teringat pada almarhum kakekku yang tak pernah ku lihat. Seandainya dia masih ada, pasti dia masih kuat seperti kakek ini. Wajahnya sangat lelah, tapi ia masih sempat melempar senyum sederhana padaku dan eksmud yang memberinya tempat. Dari wajahnya terlihat kelelahan yang tertutupi oleh semangat yang besar. Buktinya saja ia tak sedikitpun terlihat mengeluh, padahal barang bawaannya terlihat sangat berat. Aku mulai memperhatikannya. Dari salah satu kantong plastik bawaannya terlihat sebuah kotak terbungkus kertas kado. Dia juga membawa koper, sepertinya dia baru datang dari luar kota. Matanya tak pernah lepas dari pandangan jalan di depan, seolah mencari-cari tujuannya. Dari kulit wajahnya terlihat ia sering berhadapan dengan sinar matahari, mungkin dia seorang petani, pikirku. Tangannya yang terus saja menggenggam barang bawaannya terlihat begitu kuat dan perkasa bahkan kakinya tadi terlihat sangat kokoh dan mantap untuk melangkah. Ke mana kah tujuan si kakek?? Dan untuk siapa kado yang di bawanya?? Aku semakin penasaran dengan si kakek.

Aku tiba pada tempat perhentianku. Tak kusangka si kakek tadi juga ikut turun. Dengan niat baik aku hendak menawarkan bantuan untuk membawa kopernya yang terlihat sangat berat. “tidak, makasih nak..”sambil tersenyum ia menjawab.

Ia berjalan di depanku menyusuri jalan. Bahkan semangatnya berjalan mengalahkanku yang jauh lebih muda. Lalu ia berhenti di sebuah rumah bertingkat yang sangat mewah, belum ia menekan tombol rumah yang ada di pagar, si kakek sudah di sambut oleh seorang cucu perempuannya yang sudah menunggunya dari tadi. Lalu anak beserta menantunyapun datang menyambutnya. Tak sangka si kakek yang terlihat begitu sederhana ternyata adalah orang tua dari seorang pejabat pemerintahan. Dari tatapan mata yang begitu bersahaja namun pasti telah mengajarkan sebuah arti dari kata semangat pada setiap orang yang melihatnya. Tangan tua yang masih terlihat kuat itu yang selalu digunakannya untuk mengangkat cangkol, tak ada yang menyangka mampu menyekolahkan anaknya hingga sukses. Dan alasan langkah kaki yang begitu kokoh ternyata adalah sebuah kebahagiaan yang menantinya.

Hari ini aku bertemu orang-orang hebat di dalam angkot. Mereka seolah mengajarkan aku bagaimana berjuang melawan kerasnya kehidupan dengan kesederhanaan. Aku belajar kehidupan dari kehidupan di dalam angkot.